Media televisi sebenarnya dapat menjadi sebuah kekuatan utama dalam membangun rasa kebangsaan dan keberagaman Indonesia. Namun, kenyataan yang terjadi menunjukkan, betapa perkembangan industri televisi di Indonesia justeru anti-keberagaman.
Demikian diungkapkan pengamat televisi dari Fisip UI Ade Armando dalam presentasinya di seminar Indonesia Leadership Initiative (ILI) 2010 menyambut Dies Natalis ke-42 Fisip UI di Kampus UI Depok, Selasa (2/2/2010). "Tanpa kita sadari, dominasi 10 stasiun televisi komersial telah menjadikan sistem pertelevisian kita busuk dan itu hanya terjadi di Indonesia," ujar Ade.
Ade mengatakan, kondisi tersebut berlangsung selama hampir 20 tahun dan menjadi persoalan terbesar karena dominasi pada sistem pertelevisian oleh stasiun-stasiun televisi secara komersil tersebut bersifat sentralistik sebagai "penjajahan oleh Jakarta".
"Siaran dominan sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan langsung dari Jakarta ke seluruh rumah-rumah penduduk di Indonesia tanpa melalui perantara lokal seperti stasiun relai di setiap daerah. Yang benar sampai sejauh ini hanyalah TVRI dengan berbagai stasiun pembantu di daerah untuk menyiarkan berita daerah," ujar Ade.
Implikasinya, lanjut Ade, terjadi penjajahan ekonomi yang menyebabkan industri televisi di daerah tidak berkembang. Setiap tahun, belanja iklan hingga puluhan triliun dikucurkan ke kantong-kantong 10 stasiun televisi komersil tersebut. Ade mengutip data Media Scene, pemasukan iklan televisi komersial tersebut pada 2007 mencapai Rp 23 triliun dan tidak dinikmati sama sekali oleh daerah.
"Pendapatan dari rating itu hanya dinikmati oleh mereka yang di Jakarta, daerah tidak menikmati. Akibatnya, lapangan pekerjaan di industri pertelevisian pun hanya berkembang di Jakarta, daya tarik industri 'broadcast' pun lebih kuat di Jakarta, 'demand' untuk daerah sangat kurang," ujarnya.
Demikian diungkapkan pengamat televisi dari Fisip UI Ade Armando dalam presentasinya di seminar Indonesia Leadership Initiative (ILI) 2010 menyambut Dies Natalis ke-42 Fisip UI di Kampus UI Depok, Selasa (2/2/2010). "Tanpa kita sadari, dominasi 10 stasiun televisi komersial telah menjadikan sistem pertelevisian kita busuk dan itu hanya terjadi di Indonesia," ujar Ade.
Ade mengatakan, kondisi tersebut berlangsung selama hampir 20 tahun dan menjadi persoalan terbesar karena dominasi pada sistem pertelevisian oleh stasiun-stasiun televisi secara komersil tersebut bersifat sentralistik sebagai "penjajahan oleh Jakarta".
"Siaran dominan sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan langsung dari Jakarta ke seluruh rumah-rumah penduduk di Indonesia tanpa melalui perantara lokal seperti stasiun relai di setiap daerah. Yang benar sampai sejauh ini hanyalah TVRI dengan berbagai stasiun pembantu di daerah untuk menyiarkan berita daerah," ujar Ade.
Implikasinya, lanjut Ade, terjadi penjajahan ekonomi yang menyebabkan industri televisi di daerah tidak berkembang. Setiap tahun, belanja iklan hingga puluhan triliun dikucurkan ke kantong-kantong 10 stasiun televisi komersil tersebut. Ade mengutip data Media Scene, pemasukan iklan televisi komersial tersebut pada 2007 mencapai Rp 23 triliun dan tidak dinikmati sama sekali oleh daerah.
"Pendapatan dari rating itu hanya dinikmati oleh mereka yang di Jakarta, daerah tidak menikmati. Akibatnya, lapangan pekerjaan di industri pertelevisian pun hanya berkembang di Jakarta, daya tarik industri 'broadcast' pun lebih kuat di Jakarta, 'demand' untuk daerah sangat kurang," ujarnya.
No comments:
Post a Comment