Apakah bencana lumpur Sidoarjo atau lumpur Lapindo yang dimulai 29 Mei 2006 lalu dan masih berlangsung sampai sekarang merupakan persoalan rakyat Indonesia atau persoalan dunia? Pertanyaan itu mengemuka pada diskusi yang bertajuk "Living With The Earth" pada Sabtu akhir pekan kemarin di Museum Contemporary Art, Sydney, Australia. Diskusi itu berkaitan dengan pemutaran perdana film dokumenter bertajuk Mud Max: Investigative Documentary Sidoarjo Mud Volcano Disaster.
Banyak pihak di Tanah Air menyakini bahwa lumpur Sidoarjo merupakan peristiwa atau musibah yang terjadi akibat kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Namun, sekarang ini tidak sedikit pula yang yakin bahwa musibah itu merupakan bencana alam yang tidak mungkin dapat dielakkan.
Namun, dari diskusi yang dilaksanakan oleh Immodicus, perusahaan pembuat film dokumenter Mud Max, yang menghadirkan pakar-pakar geologi dari Universitas Universitas Arizona, Amerika Serikat, yakni Profesor Jonathan Fink, Profesor Amanda Clarke dan Prof Hilairy Harrtnett Phd, dan Dr Adriano Mazzini periset dari Universitas Oslo, serta Profesor Ross Griffiths, Kepala Penelitian Geofisika dan Ilmu Bumi Universitas Nasional Australia, terdapat sebuah kesimpulan, tidak perlu mencari siapa yang bersalah dalam peristiwa alam itu. Yang dibutuhkan adalah bagaimana rakyat Indonesia dapat hidup bersama dengan bencana lumpur.
Fenomena alam
Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney Sudaryomo Hartosudarmo juga mengatakan, biarlah kontroversi penyebab bencana itu terus terjadi. Yang diperlukan adalah bagaimana para ahli dari seluruh dunia dapat lebih banyak mempelajari fenomena alam dahsyat yang sudah memorakporandakan kehidupan lebih dari 100.000 orang di Jawa Timur itu.
Prof Amanda Clarke mengatakan, bencana lumpur Sidoarjo pasti akan terjadi dengan atau tanpa kesalahan dari PT Lapindo Brantas. Hal itu memperkuat pernyataan Prof Jonathan Fink sebelumnya bahwa materi lumpur itu sudah ada di bawah bumi tersimpan dalam ratusan tahun dan senantiasa akan keluar cepat atau lambat dengan sebuah kejadian yang akan menjadi pemicunya.
"Lumpur itu menyembur karena ada pemicunya. Kami yakin, pemicunya berkaitan dengan gempa Yogya yang terjadi dua hari sebelum lumpur itu menyembur. Menurut saya, saat ini tidak perlu kita mencari siapa yang bersalah atas lumpur itu. Yang diperlukan sekarang adalah mari kita belajar tentang lumpur Sidoarjo. Mempelajari gejala alam itu pasti akan mengajari kita bagaimana mengatur hidup bersama dengan bencana. Dengan mempelajari lumpur Sidoarjo, banyak yang bisa dipetik. Yang pasti, bencana alam itu dapat mendekatkan Indonesia dengan pelajar-pelajar dari seluruh dunia yang ingin mengetahui secara dekat. Bukan tidak mungkin dapat dilakukan kerja sama antara pakar Amerika dan Indonesia untuk mendidik pelajar Amerika yang ingin belajar tentang lumpur vulkanik," kata Amanda, yang merupakan peneliti gejala alam yang berhubungan dengan erupsi ledakan vulkanik.
Adriano Mazzini menambahkan, gempa Yogya memicu kegiatan magmatik di lokasi Pulau Jawa. Gempa itu bahkan menghidupkan kembali kegiatan gunung berapi Semeru. Dari beberapa penelitiannya, fenomena lumpur vulkanik seperti di Sidoarjo ternyata bukan yang pertama kali terjadi di Jawa Timur.
"Gempa memunculkan reaksi terhadap kegiatan magmatik. Kami meyakini, ada kaitan akibat gempa Yogya dengan Gunung Semeru dan Lumpur Sidoarjo. Hal ini memang agak sulit dipahami oleh masyarakat awam. Namun, dari pandangan ahli geologi, hal ini sangat memungkinkan. Memang diperlukan penelitian yang lebih dalam dan lebih lama untuk mengetahui penyebab kejadian itu," kata Adriano, yang sudah empat kali mengunjungi Indonesia untuk meneliti lumpur Sidoarjo.
Menurut Profesor Ross Griffiths, dari sisi lain, peristiwa lumpur Sidoarjo merupakan sebuah anugrah luar biasa buat kemajuan ilmu pengetahuan di masa mendatang. Kejadian Sidoarjo, yang sudah berlangsung hampir empat tahun, merupakan fenomena yang sangat jarang terjadi.
"Lumpur Sidoarjo itu tantangan buat kami yang berkutat pada ilmu geologi untuk mempelajarinya. Selama ini geolog lebih banyak mempelajari fenomena vulkanik dari gunung berapi, sementara lupur Sidoarjo juga merupakan materi vulkanik, tetapi yang tidak berkaitan dengan gunung berapi. Ini sangat menarik untuk diteliti," ujar Ross.
Perlakukan alam dengan baik
Dari pemutaran film dokumenter lumpur Sidoarjo, salah seorang pengunjung Victor Akhmetteeh Djamirze, seorang ahli teknologi dari Kavkaz, Rusia, mengaku takjub dengan gejala alam yang sangat luar biasa seperti yang terjadi di Sidoarjo. Viktor mengatakan, kejadian itu semakin menunjukkan, semestinya manusia memperlakukan alam dengan baik dan tidak pernah menyakiti.
"Nenek saya berpesan agar memperlakukan alam dengan baik. Dia mengatakan, perlakukan alam sebagai perempuan yang ingin kamu pilih sebagai istri. Kamu harus menjaganya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kita juga harus memeliharanya dengan baik agar dia dapat memberikan hal yang baik buat kita dalam hidup ini. Untuk mengeksploitasi alam diperlukan perlakuan yang sama, perlakukan dengan lembut dan kasih sayang," ujar Viktor.
Chris Fong, Produser Eksekutif film Mud Max, menyatakan, kehadirannya di Sidoarjo awalnya sebenarnya tidak ditujukan secara khusus untuk pembuatan film dokumenter. Ketika itu, pada tahun 2007, Chris bekerja atas permintaan perusahaan perbankan asing yang ingin mengetahui kondisi menyeluruh dari musibah Sidoarjo.
"Kalaupun sekarang ini telah lahir sebuah film dokumenter Mud Max, hal ini lebih merupakan sebuah karya dari peristiwa alam untuk disaksikan oleh semua orang dari seluruh dunia untuk dapat mengetahui fenomena alam di Indonesia. Namun, di balik semua ini, kami tidak memungkiri ada tujuan komersial. Beberapa broadcast sudah menyatakan berminat untuk membeli film ini. Kami bahkan sedang berhubungan dengan National Geografic untuk proses penjualan film ini," kata Chris.
No comments:
Post a Comment