Sesaat setelah Yoe pergi, Jeng Sri, Max Mardian, Pramudya, Nashir, dan Roy meninggalkan kantor TKWMM menuju rumah sakit untuk menengok Tania.
Mengendarai mobil Jeng Sri, ke 5 anggota TKWMM kategori bukan orang politik itu melaju menuju rumah sakit. Jalanan sepi. Jakarta sejak dinyatakan sebagai daerah tertutup dan serangan wabah semakin menghebat, berubah menjadi kota yang sepi. Bahkan pada siang hari, penduduk Jakarta sudah meninggalkan kantor, pekerjaan, warung, toko-toko, sekolahan, dan aktivitas apapun yang biasa mereka lakukan. Mobil-mobil juga tak banyak berseliweran di jalanan karena sebagian besar orang telah menabrakan mobil mereka ke tiang-tiang lampu merah, trotoar-trotoar, tembok-tembok, pagar rumah, atau ke mobil-mobil lainnya. Bengkel mobil di berbagai tempat, penuh oleh mobil-mobil rusak, tapi tak satupun ditangani dengan benar oleh montir-montir yang kebanyakan sudah terkena wabah mata yang malas.
Tak ada lagi kemacetan di Jakarta. Keramaian jalanan hanya diisi oleh rombongan pengunjuk rasa yang hampir setiap hari bergerak ke berbagai tempat untuk menyampaikan tuntutan mereka. Keramaian hanya terpusat di mal-mal yang terletak di kawasan kompleks perumahan. Mal-mal di jalan-jalan utama Jakarta, lebih sepi karena terlalu jauh dari kawasan pemukiman. Barang-barang kebutuhan pokok mulai sering kosong di semua mal dan toko-toko, juga rak-rak pendingin buah-buahan dan sayur-sayuran yang ada di semua mal. Orang berlomba menimbun barang-barang itu.
“Keadaan sekarang benar-benar sudah sangat genting,” Nashir membuka percakapan.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?” Jeng Sri menimpali tanpa menoleh.
“Kukira sudah saatnya kita meminta bantuan negara-negara maju untuk mengatasi wabah mata yang malas,” ujar Pram menanggapi.
“Mungkin sebaiknya begitu, tapi Ketua tampaknya punya rencana lain yang tak kita ketahui,” sahut Max.
“Sudahlah, tak perlu menganalisa Ketua, paling dia hanya menjalankan instruksi presiden saja,” Roy ikut menimpali.
“O ya, ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ibu Tania sekarang Pak Roy?”
“Sampai kemarin dia belum sadarkan diri juga Jeng Sri.”
“Oo, kasihan sekali Ibu Tania. Saya ingin memberinya batu opal ini. Batu ini memiliki kekuatan penyembuh yang mungkin membuat saya sampai sekarang belum terkena wabah mata yang malas. ”
“Batu apa itu Jeng Sri? Bagus sekali kilau cahayanya.”
“Ini batu opal api Pak Nashir. Batu yang sangat langka dan berharga. Pada zaman nenek moyang kita dulu, batu ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit mata dan penyakit-penyakit lainnya.”
“Kenapa kita tak mencari saja batu itu banyak-banyak dan memberikannya pada seluruh penduduk Jakarta yang terkena wabah Jeng Sri?”
“Seperti saya katakan tadi Pak Max, batu ini sangat langka. Harganyapun sangat mahal, jadi tak mungkin kita membelinya untuk jutaan orang di Jakarta. Lagipula tidak setiap orang cocok dengan batu ini. Banyak orang malah menganggapnya sebagai batu pembawa sial. Di tangan saya opal ini cocok dan memberi kekuatan, di tangan orang lain, batu ini bisa malah merugikan, tapi saya melihat Ibu Tania rasanya juga cocok dengan batu ini. ”
“Ooo….”
Mobil van Jeng Sri terus melaju, menyusuri jalanan sepi dengan pemandangan yang tak menyenangkan. Suasana mencekam begitu terasa di seluruh pelosok Jakarta. Beberapa orang yang berkeliaran, matanya merah seperti mata iblis. Mereka adalah para penderita kronis wabah mata yang malas. Perilaku para penderita kronis nyaris sudah tak ada bedanya dengan perilaku orang gila jalanan. Mereka makan makanan dari tempat-tempat sampah, mereka tertawa-tawa tanpa sebab, mereka menangis tanpa juntrungan, mereka menyanyi dan menari-nari dengan telanjang dada, mereka marah-marah tanpa alasan, dan setiap saat mereka bisa tiba-tiba menyerang siapa saja.
“Lihat para penderita kronis itu,” Roy memecah kesunyian.
“Kenapa mereka Pak Roy?”
“Setiap hari mereka bertambah, dan sebentar lagi bukan tak mungkin kita juga akan seperti mereka toh Pak Pram?”
“Bagaimana menurut Anda Pak Max?”
“Saya rasa apa yang dikatakan Pak Roy benar adanya Pak Pram. Bukankah sekarang ini, kita semua yang di mobil ini, kecuali Jeng Sri mungkin, juga sudah terkena wabah mata yang malas? Masih stadium yang sangat dini mungkin, tapi berapa lama sih kita akan bertahan?”
“Apa yang harus kita lakukan Jeng Sri?”
“Apa saja yang masih bisa kita lakukan Pak Nashir. Apa saja yang masih bisa kita lakukan kita lakukan saja. Saya kira ini sikap terbaik yang bisa kita ambil. Bagaimana mengatasi wabah ini jelas masih menjadi misteri besar bagi kita semua, saya pun benar-benar belum bisa menemukan titik terang atau petunjuk apa-apa…. ”
“Awaassss!”
Mengendarai mobil Jeng Sri, ke 5 anggota TKWMM kategori bukan orang politik itu melaju menuju rumah sakit. Jalanan sepi. Jakarta sejak dinyatakan sebagai daerah tertutup dan serangan wabah semakin menghebat, berubah menjadi kota yang sepi. Bahkan pada siang hari, penduduk Jakarta sudah meninggalkan kantor, pekerjaan, warung, toko-toko, sekolahan, dan aktivitas apapun yang biasa mereka lakukan. Mobil-mobil juga tak banyak berseliweran di jalanan karena sebagian besar orang telah menabrakan mobil mereka ke tiang-tiang lampu merah, trotoar-trotoar, tembok-tembok, pagar rumah, atau ke mobil-mobil lainnya. Bengkel mobil di berbagai tempat, penuh oleh mobil-mobil rusak, tapi tak satupun ditangani dengan benar oleh montir-montir yang kebanyakan sudah terkena wabah mata yang malas.
Tak ada lagi kemacetan di Jakarta. Keramaian jalanan hanya diisi oleh rombongan pengunjuk rasa yang hampir setiap hari bergerak ke berbagai tempat untuk menyampaikan tuntutan mereka. Keramaian hanya terpusat di mal-mal yang terletak di kawasan kompleks perumahan. Mal-mal di jalan-jalan utama Jakarta, lebih sepi karena terlalu jauh dari kawasan pemukiman. Barang-barang kebutuhan pokok mulai sering kosong di semua mal dan toko-toko, juga rak-rak pendingin buah-buahan dan sayur-sayuran yang ada di semua mal. Orang berlomba menimbun barang-barang itu.
“Keadaan sekarang benar-benar sudah sangat genting,” Nashir membuka percakapan.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?” Jeng Sri menimpali tanpa menoleh.
“Kukira sudah saatnya kita meminta bantuan negara-negara maju untuk mengatasi wabah mata yang malas,” ujar Pram menanggapi.
“Mungkin sebaiknya begitu, tapi Ketua tampaknya punya rencana lain yang tak kita ketahui,” sahut Max.
“Sudahlah, tak perlu menganalisa Ketua, paling dia hanya menjalankan instruksi presiden saja,” Roy ikut menimpali.
“O ya, ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ibu Tania sekarang Pak Roy?”
“Sampai kemarin dia belum sadarkan diri juga Jeng Sri.”
“Oo, kasihan sekali Ibu Tania. Saya ingin memberinya batu opal ini. Batu ini memiliki kekuatan penyembuh yang mungkin membuat saya sampai sekarang belum terkena wabah mata yang malas. ”
“Batu apa itu Jeng Sri? Bagus sekali kilau cahayanya.”
“Ini batu opal api Pak Nashir. Batu yang sangat langka dan berharga. Pada zaman nenek moyang kita dulu, batu ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit mata dan penyakit-penyakit lainnya.”
“Kenapa kita tak mencari saja batu itu banyak-banyak dan memberikannya pada seluruh penduduk Jakarta yang terkena wabah Jeng Sri?”
“Seperti saya katakan tadi Pak Max, batu ini sangat langka. Harganyapun sangat mahal, jadi tak mungkin kita membelinya untuk jutaan orang di Jakarta. Lagipula tidak setiap orang cocok dengan batu ini. Banyak orang malah menganggapnya sebagai batu pembawa sial. Di tangan saya opal ini cocok dan memberi kekuatan, di tangan orang lain, batu ini bisa malah merugikan, tapi saya melihat Ibu Tania rasanya juga cocok dengan batu ini. ”
“Ooo….”
Mobil van Jeng Sri terus melaju, menyusuri jalanan sepi dengan pemandangan yang tak menyenangkan. Suasana mencekam begitu terasa di seluruh pelosok Jakarta. Beberapa orang yang berkeliaran, matanya merah seperti mata iblis. Mereka adalah para penderita kronis wabah mata yang malas. Perilaku para penderita kronis nyaris sudah tak ada bedanya dengan perilaku orang gila jalanan. Mereka makan makanan dari tempat-tempat sampah, mereka tertawa-tawa tanpa sebab, mereka menangis tanpa juntrungan, mereka menyanyi dan menari-nari dengan telanjang dada, mereka marah-marah tanpa alasan, dan setiap saat mereka bisa tiba-tiba menyerang siapa saja.
“Lihat para penderita kronis itu,” Roy memecah kesunyian.
“Kenapa mereka Pak Roy?”
“Setiap hari mereka bertambah, dan sebentar lagi bukan tak mungkin kita juga akan seperti mereka toh Pak Pram?”
“Bagaimana menurut Anda Pak Max?”
“Saya rasa apa yang dikatakan Pak Roy benar adanya Pak Pram. Bukankah sekarang ini, kita semua yang di mobil ini, kecuali Jeng Sri mungkin, juga sudah terkena wabah mata yang malas? Masih stadium yang sangat dini mungkin, tapi berapa lama sih kita akan bertahan?”
“Apa yang harus kita lakukan Jeng Sri?”
“Apa saja yang masih bisa kita lakukan Pak Nashir. Apa saja yang masih bisa kita lakukan kita lakukan saja. Saya kira ini sikap terbaik yang bisa kita ambil. Bagaimana mengatasi wabah ini jelas masih menjadi misteri besar bagi kita semua, saya pun benar-benar belum bisa menemukan titik terang atau petunjuk apa-apa…. ”
“Awaassss!”
No comments:
Post a Comment