Batik Indonesia kembali mendapat guncangan. Jika sebelumnya batik Indonesia sempat diklaim sebagai budaya asli Malaysia, kini batik buatan China dipasarkan dengan mengganti label lokal.
Ini terjadi di Pasar Klewer , Solo, Jawa Tengah. Alhasil, reaksi keras pun muncul dari Yayasan Batik Indonesia.
Salah Seorang Anggota Yayasan Batik Indonesia, Diana Hariyad mengatakan penggunaan label itu menunjukan bukti lemahnya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap produk batik yang merupakan ciri khas Indonesia dan sudah diakui dunia.
"Ini tidak perlu terjadi bila pemerintah memberikan proteksi terhadap batik,"papar Diana dalam jumpa pers di wisma Wuryodiningratan, Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jumat (5/2/2010).
Diana menjelaskan peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam kasus ini. Seharusnya pemerintah mengambil langkah membagi-bagi produk mana saja yang bisa masuk ke Indonesia dengan bebas,dan produk-produk mana yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Dia mencontohkan Malaysia. Di sana pemerintah setempat gencar mempromosikan negarannya merupakan surga bagi produsen produk dari negara lain untuk memasarkan prudaknya di Malaysia. Namun sebelum dijual, seluruh barang dikelompokan terlebih dahulu.
"Apalagi kalau yang dijual di Malaysia adalah sarung, sudah pasti akan ditolak masuk," jelasnya.
Pasalnya, tambah Diana, sarung dianggap ciri khas Malaysia dan hanya boleh dikerjakan di Malaysia. Sedangkan negara lain hanya diperbolehkan menjual dalam bentuk kain.
Sebenarnya, lanjut Dian, Yayasan Batik Indonesia telah bertemu langsung dengan Menteri Perdagangan pada lebaran lalu. Namun saat pertemuan tersebut, warning yang diutarakan yayasannya tidak mendapatkan respon dari pemerintah.
"Lah Menterinya hanya memikirkan nama baiknya saja, warning yang kita sampaikan tentang kekhawatiran pengrajin batik terhadap batik China tidak mendapatkan respon apa-apa,ya sudah," kesalnya.
Ini terjadi di Pasar Klewer , Solo, Jawa Tengah. Alhasil, reaksi keras pun muncul dari Yayasan Batik Indonesia.
Salah Seorang Anggota Yayasan Batik Indonesia, Diana Hariyad mengatakan penggunaan label itu menunjukan bukti lemahnya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap produk batik yang merupakan ciri khas Indonesia dan sudah diakui dunia.
"Ini tidak perlu terjadi bila pemerintah memberikan proteksi terhadap batik,"papar Diana dalam jumpa pers di wisma Wuryodiningratan, Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jumat (5/2/2010).
Diana menjelaskan peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam kasus ini. Seharusnya pemerintah mengambil langkah membagi-bagi produk mana saja yang bisa masuk ke Indonesia dengan bebas,dan produk-produk mana yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Dia mencontohkan Malaysia. Di sana pemerintah setempat gencar mempromosikan negarannya merupakan surga bagi produsen produk dari negara lain untuk memasarkan prudaknya di Malaysia. Namun sebelum dijual, seluruh barang dikelompokan terlebih dahulu.
"Apalagi kalau yang dijual di Malaysia adalah sarung, sudah pasti akan ditolak masuk," jelasnya.
Pasalnya, tambah Diana, sarung dianggap ciri khas Malaysia dan hanya boleh dikerjakan di Malaysia. Sedangkan negara lain hanya diperbolehkan menjual dalam bentuk kain.
Sebenarnya, lanjut Dian, Yayasan Batik Indonesia telah bertemu langsung dengan Menteri Perdagangan pada lebaran lalu. Namun saat pertemuan tersebut, warning yang diutarakan yayasannya tidak mendapatkan respon dari pemerintah.
"Lah Menterinya hanya memikirkan nama baiknya saja, warning yang kita sampaikan tentang kekhawatiran pengrajin batik terhadap batik China tidak mendapatkan respon apa-apa,ya sudah," kesalnya.
No comments:
Post a Comment