Showing posts with label Dunia Puisi. Show all posts
Showing posts with label Dunia Puisi. Show all posts

Friday, February 5, 2010

Mata yang Malas (69)

Sesaat setelah Yoe pergi, Jeng Sri, Max Mardian, Pramudya, Nashir, dan Roy meninggalkan kantor TKWMM menuju rumah sakit untuk menengok Tania.

Mengendarai mobil Jeng Sri, ke 5 anggota TKWMM kategori bukan orang politik itu melaju menuju rumah sakit. Jalanan sepi. Jakarta sejak dinyatakan sebagai daerah tertutup dan serangan wabah semakin menghebat, berubah menjadi kota yang sepi. Bahkan pada siang hari, penduduk Jakarta sudah meninggalkan kantor, pekerjaan, warung, toko-toko, sekolahan, dan aktivitas apapun yang biasa mereka lakukan. Mobil-mobil juga tak banyak berseliweran di jalanan karena sebagian besar orang telah menabrakan mobil mereka ke tiang-tiang lampu merah, trotoar-trotoar, tembok-tembok, pagar rumah, atau ke mobil-mobil lainnya. Bengkel mobil di berbagai tempat, penuh oleh mobil-mobil rusak, tapi tak satupun ditangani dengan benar oleh montir-montir yang kebanyakan sudah terkena wabah mata yang malas.

Tak ada lagi kemacetan di Jakarta. Keramaian jalanan hanya diisi oleh rombongan pengunjuk rasa yang hampir setiap hari bergerak ke berbagai tempat untuk menyampaikan tuntutan mereka. Keramaian hanya terpusat di mal-mal yang terletak di kawasan kompleks perumahan. Mal-mal di jalan-jalan utama Jakarta, lebih sepi karena terlalu jauh dari kawasan pemukiman. Barang-barang kebutuhan pokok mulai sering kosong di semua mal dan toko-toko, juga rak-rak pendingin buah-buahan dan sayur-sayuran yang ada di semua mal. Orang berlomba menimbun barang-barang itu.

“Keadaan sekarang benar-benar sudah sangat genting,” Nashir membuka percakapan.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?” Jeng Sri menimpali tanpa menoleh.
“Kukira sudah saatnya kita meminta bantuan negara-negara maju untuk mengatasi wabah mata yang malas,” ujar Pram menanggapi.
“Mungkin sebaiknya begitu, tapi Ketua tampaknya punya rencana lain yang tak kita ketahui,” sahut Max.
“Sudahlah, tak perlu menganalisa Ketua, paling dia hanya menjalankan instruksi presiden saja,” Roy ikut menimpali.
“O ya, ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ibu Tania sekarang Pak Roy?”
“Sampai kemarin dia belum sadarkan diri juga Jeng Sri.”
“Oo, kasihan sekali Ibu Tania. Saya ingin memberinya batu opal ini. Batu ini memiliki kekuatan penyembuh yang mungkin membuat saya sampai sekarang belum terkena wabah mata yang malas. ”
“Batu apa itu Jeng Sri? Bagus sekali kilau cahayanya.”
“Ini batu opal api Pak Nashir. Batu yang sangat langka dan berharga. Pada zaman nenek moyang kita dulu, batu ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit mata dan penyakit-penyakit lainnya.”
“Kenapa kita tak mencari saja batu itu banyak-banyak dan memberikannya pada seluruh penduduk Jakarta yang terkena wabah Jeng Sri?”
“Seperti saya katakan tadi Pak Max, batu ini sangat langka. Harganyapun sangat mahal, jadi tak mungkin kita membelinya untuk jutaan orang di Jakarta. Lagipula tidak setiap orang cocok dengan batu ini. Banyak orang malah menganggapnya sebagai batu pembawa sial. Di tangan saya opal ini cocok dan memberi kekuatan, di tangan orang lain, batu ini bisa malah merugikan, tapi saya melihat Ibu Tania rasanya juga cocok dengan batu ini. ”

“Ooo….”

Mobil van Jeng Sri terus melaju, menyusuri jalanan sepi dengan pemandangan yang tak menyenangkan. Suasana mencekam begitu terasa di seluruh pelosok Jakarta. Beberapa orang yang berkeliaran, matanya merah seperti mata iblis. Mereka adalah para penderita kronis wabah mata yang malas. Perilaku para penderita kronis nyaris sudah tak ada bedanya dengan perilaku orang gila jalanan. Mereka makan makanan dari tempat-tempat sampah, mereka tertawa-tawa tanpa sebab, mereka menangis tanpa juntrungan, mereka menyanyi dan menari-nari dengan telanjang dada, mereka marah-marah tanpa alasan, dan setiap saat mereka bisa tiba-tiba menyerang siapa saja.

“Lihat para penderita kronis itu,” Roy memecah kesunyian.
“Kenapa mereka Pak Roy?”
“Setiap hari mereka bertambah, dan sebentar lagi bukan tak mungkin kita juga akan seperti mereka toh Pak Pram?”
“Bagaimana menurut Anda Pak Max?”
“Saya rasa apa yang dikatakan Pak Roy benar adanya Pak Pram. Bukankah sekarang ini, kita semua yang di mobil ini, kecuali Jeng Sri mungkin, juga sudah terkena wabah mata yang malas? Masih stadium yang sangat dini mungkin, tapi berapa lama sih kita akan bertahan?”
“Apa yang harus kita lakukan Jeng Sri?”
“Apa saja yang masih bisa kita lakukan Pak Nashir. Apa saja yang masih bisa kita lakukan kita lakukan saja. Saya kira ini sikap terbaik yang bisa kita ambil. Bagaimana mengatasi wabah ini jelas masih menjadi misteri besar bagi kita semua, saya pun benar-benar belum bisa menemukan titik terang atau petunjuk apa-apa…. ”
“Awaassss!”

Bilik Mesra

Aku ingin menulis sebuah cerpen tentang banjir lumpur yang melahap pemukiman itu. Bukan menulis esai. Tapi bagaimana bisa aku menulis cerpen jika aku ingin marah-marah saat ingat betapa beratnya para pengungsi yang kegerahan setiap siang seperti ini.

Aku baru saja datang dari kamp pengungsian mereka. Aku melihat seseorang menangisi rumahnya yang sedikit demi sedikit ditelan lumpur hingga tinggal atap. Bayangkan, mereka melihat sendiri rumah mereka sedikit demi sedikit terendam.

Begitulah, aku terlalu ingin meneriakkan kemarahan tentang tingkah para pengusaha yang menyalahi aturan pengeboran dan menyebabkan menyemburnya lumpur panas yang tiada henti itu. Biasanya, jika aku terlalu marah dan ingin menyuarakan sesuatu, tulisanku akan jadi esai. Tapi, kali ini tidak boleh: Aku ingin menulis cerpen! Karena itulah aku pergi ke SMA tempatku sekolah sekitar delapan tahun yang lalu. Udara memang gerah dan memanggang rambut, aku tahu. Tapi segala kenangan yang ditimbulkan setiap sudut gedung sekolah itu pasti akan melenakan hatiku, merontokkan marahku, membelai-belai hatiku, dan aku akan bisa menulis sebuah cerpen. Kuharap begitu. Kita lihat saja.
Aku memasuki gerbang sekolah yang dijaga seorang satpam. Aku tidak kenal satpam ini. Dia juga tidak kenal aku.
“Mau kemana, Mas?” tanyanya. “Hari Minggu pegawainya tidak ada.”
“Mau santai-santai, Pak,” kataku. “Saya cari tempat yang tenang buat nulis.”
“Nulis apa?”
“Cerpen, Pak,” kataku, sambil kuperhatikan matanya yang tak menunjukkan berkurangnya kecurigaan. “Saya tinggal sekitar sini dan lulusan SMA ini, Pak.”

Selanjutnya dia membiarkanku meneruskan langkah. Saat berjalan, aku merasa dia menembakku dengan sorot matanya. Aku benar-benar tak peduli. Toh sekolah ini milik negara dan aku pun pernah menyumbang sekian rupiah untuk pembangunan salah satu gedungnya.

Aku melewati celah antara ruang kantor dan ruang perpustakaan. Kedua bangunan ini tetap seperti ketika delapan tahun lalu aku meninggalkannya. Selepas celah, aku sudah bisa melihat hampir seluruh bagian dalam sekolah. Sudah banyak perubahan yang dibuat di sini. Ada ruang-ruang kelas baru di ujung selatan sana. Antara kelompok-kelompok kelas kini dihubungkan koridor beratap yang indah dengan tiang-tiang penyangga yang bagus. Sungguh modern. Nyaris seperti sekolah-sekolah berskala internasional dalam liputan-liputan berita. Semua cat tampak masih baru. Mungkin mempersiapkan diri untuk 17 Agustus tahun ini. Sayang masih belum ada umbul-umbul sama sekali.

Setelah puas mengagumi perubahannya, aku memilih untuk tidak melanjutkan proyekku. Aku menoleh sekeliling mencari tempat yang bagus untuk menulis. Di tepi kanan perpustakaan yang masih kosong terdapat sebuah bangku dan meja. Mejanya agak rusak, tapi bangkunya tampak masih bisa diduduki. Kudekati bangku-meja itu dan mencoba mendudukinya. Masih lumayan nyaman. Bagian ini langsung menghadap lahan kosong ditumbuhi alang-alang. Angin berhembus keras, tapi udara tetap panas.

Aku keluarkan buku notes kecilku dari saku belakang celana. Ya, meski panas, inilah tempat yang tepat untuk bisa merenungkan segala yang kulihat di tempat pengungsian para korban banjir lumpur itu. Lalu aku akan menuliskannya dalam bentuk cerpen: harus ada cerita yang bisa menjaga minat dan menggugah pembaca sambil, namun juga harus tersaji fakta yang mencerahkan. Cerpen itu menghibur sekaligus memintarkan, begitu kata teori. Ah, lagi-lagi teringat teori! Terang saja aku tidak pernah berhasil menulis cerpen yang bagus sejak kuliah sampai sekarang. Teori terlalu menghantuiku.

Aku mencoba berkonsentrasi dan mengingat-ingat: ada bau menyengat seperti limbah bahkan dari jarak satu kilo dari lokasi banjir lumpur, ada sopir-sopir angkutan yang berkelahi karena semakin berkurangnya pelanggan, ada perkelahian antar beberapa lelaki karena otak yang panas di kamp pengungsian, ada rumah-rumah yang tinggal terlihat atapnya karena sudah termakan lumpur, dan bahkan ada sebuah “bilik mesra” yang dikhususkan bagi para pasangan pengungsi yang ingin menyalurkan hasrat seksual mereka—meskipun konon jarang dipakai, karena para pengungsi malu mengumumkan kepada tetangga kalau mereka sedang saling menafkahi. Tapi, ah, aku tidak akan menyertakan urusan “bilik mesra” ini ke dalam cerpenku. Aku masih belum berani.
Ah, mana yang akan kutuliskan dulu? Oh ya, tulis saja begini. Aku...

Belum lagi aku menyelesaikan kalimat pertama, suara keras sepeda motor terdengar mendekat. Motor itu dari arah belakang, melewati koridor yang indah, lalu berhenti di depan berpustakaan. Siapa dia, berani-beraninya membawa sepeda motor masuk ke kompleks-kompleks kelas, melewati koridor yang semestinya untuk berjalan, dan memarkir sepeda motor di teras perpustakaan. Aku lebih mundur ke belakang agar tidak terlihat.

Sebelum pengendara motor itu turun, aku tadi sudah melihat mereka: seorang lelaki dan seorang perempuan. Begitu turun, mereka menoleh melihat ke arah lapangan—mereka membelakangiku. Aku mencoba mengintip. Kulihat lelaki itu berbicara:
“Mau duduk-duduk di sana terus?”
“Ke kelas yang itu lagi?” kata si perempuan menunjuk ruangan kelas baru di ujung selatan.
Mereka berdua segera berjalan. Tangan si lelaki di punggung bawah si perempuan, nyaris menyentuh pantat. Sambil berjalan, si lelaki menoleh ke kanan dan kiri, dan mengatakan sesuatu kepada si perempuan. Sayang, aku tidak bisa mendengar kata-kata mereka.

Entah, tiba-tiba saja aku tak lagi berminat untuk melanjutkan perenungan dan hasratku menulis cerpen. Aku segera mengendap-endap di tepian gedung sambil tetap bisa mengintai laki-laki yang tangannya mulai meraba-raba dengan cabulnya pada bagian belakang tubuh si perempuan. Dasar, yang namanya maksiat sekarang sudah menjarah gedung sekolah. Kupikir yang seperti ini hanya terjadi di gedung-gedung kampus yang kurang penerangan pada malam hari. Kini, bahkan di terang hari, bahkan di sebuah SMA Negeri, hal itu bisa terjadi.

Sementara kuikuti dari bagian-bagian aman, si lelaki tetap seperti merasa diikuti seseorang. Terkadang, si lelaki berlagak seolah-olah meneduhi wajah si perempuan dari sengatan matahari dengan tangannya, terkadang dia berlagak mengipasi wajah si perempuan dengan tangannya.
Sementara aku mengendap-endap dari balik tiang koridor satu ke tiang koridor lainnya, seperti detektif.

Pasangan itu menuju sebuah kelas di ujung selatan. Itu kelas baru. Seingatku, di belakang kelas ujung selatan itu terdapat sebuah warung. Pada hari Minggu seperti ini pasti kosong. Dan ada lincak bambu yang bisa dipakai duduk-duduk, atau apa-apa. Mungkin mereka akan ke sana, berpacaran ditemani semilir angin tersaring rumpun bambu.
Ternyata tidak.

Di depan kelas ujung selatan, mereka berhenti. Si lelaki mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya yang tebal. Sekumpulan kunci. Hanya seorang penjaga sekolah yang memiliki kunci sebanyak itu di sebuah sekolah. Wah, lagi-lagi aku tidak kenal pegawai. Ternyata delapan tahun itu cukup lama. Sudah ada pergantian satpam dan penjaga sekolah.

Si lelaki membuka pintu kelas ujung selatan itu dan menoleh ke sekelilingnya untuk mengamati. Lagi-lagi aku bersembunyi agar tidak terlihat. Ternyata, pikirku, sekolah ini telah salah memilih karyawan baru. Pertama, satpam yang berwajah galak. Kedua, penjaga sekolah yang cabul. Siapa saja bisa mengira dia ke kelas ujung selatan itu untuk melakukan apa. Setelah melihat sekeliling dan sepertinya tidak mendapati apa-apa yang mencurigakan, si penjaga sekolah mengajak perempuannya masuk ke kelas itu dan segera menutupnya. Dia membiarkan kuncinya menggantung di luar.

Aku segera bangkit dari tempatku sembunyi dan melompat. Meaong! Tiba-tiba ada seekor kucing yang ada di depan kakiku. Aku kaget setengah mati saat kudengar suara itu dan kurasakan bulu-bulu halusnya di punggung kakiku. Refleks memerintahkan agar aku segera kembali ke tempatku sembunyi. Jantungku berpacu. Kulihat kucing hitam yang kusandung tadi berlari menyeberang lapangan yang rumputnya mulai mengering. Semoga saja teriakan kucing itu tidak cukup keras untuk didengar penjaga sekolah cabul itu. Kuintip kembali kelas di ujung selatan itu. Sepertinya si cabul tidak tahu.

Aku mengendap-endap lagi menuju kelas di ujung selatan. Kali ini aku lebih hati-hati dan sesekali melihat ke bawah. Aku ingat, dulu di lapangan dimana sekarang ada kelas ujung selatan itu, seorang siswa kejang-kejang karena epilepsinya kumat. Aku ingat, aku ikut melihatnya saat kejang-kejangnya selesai, mulutnya berbusa dan ada sedikit darah, jari Pak Guru olahraga yang diganjalkan diantara giginya tergigit. Sudahlah, mengapa tiba-tiba aku ingat lagi kejadian mengerikan itu. Sudah lama aku tidak pernah teringat kejadian itu lagi.

Aku tetap mengendap-endap melewati tepi sebuah gedung lagi. Jantungku masih berpacu. Meskipun sekarang sudah tidak sekencang tadi. Pikiranku terasa tegang, sampai-sampai kurasa ada urat di bagian belakang kepalaku yang agak mengeras.

Aku sudah berada di depan kelas ujung selatan. Aku mendekat di jendela yang terbuat kaca nakonya agak terbuka. Sambil membungkuk agar tidak terlihat, kutajamkan pendengaran. Aku mencoba sekian lama membedakan desir angin di rumpun bambu belakang sekolah dengan desah nafas dari dalam ruang kelas. Ternyata, diantara desah-desah nafas lirih itu ada suara si lelaki:
“Kalau kita sudah di rumah nanti… kita bisa melakukannya setiap hari…”
“Mas…” balas si perempuan.
“Sungguh…”

Sialan! Ternyata penjaga sekolah itu benar-benar sedang bertindak cabul di sini. Benar-benar tak bisa dibiarkan. Aku segera memutuskan untuk memberitahu satpam tentang prilaku cabul si penjaga sekolah. Aku sudah akan pergi, tetapi tiba-tiba aku memutuskan untuk bertindak lebih. Kunci yang menggantung di luar pintu itu harus dipakai. Mereka harus tertangkap basah. Aku kunci pintu itu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan terlalu banyak suara. Saat melakukan itu, kudengar lagi suara-suara erotis itu:
“Dasar… pabrik sialan…”
“Lum… lumpur sialan…”

Aku segera teringat cerpen yang ingin kutuliskan tadi. Ada sebuah bilik khusus di tempat pengungsian itu yang dikhususkan untuk pasangan yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya. Aku tadi belum terpikir untuk menuliskan tentang itu. Apa mungkin mereka ini salah satu pengungsi itu? Tanganku yang masih memegang kunci itu tak jadi kulepaskan. Bahkan, aku langsung mencoba pelan-pelan mengembalikan kunci itu agar terbuka lagi. Kali ini, aku tetap tak ingin menimbulkan suara. Ah, aku telah salah sangka. Tetap, sambil mengendap-endap aku mencoba meninggalkan pintu itu dengan mundur.

Belum lagi aku membalik badan, ada tangan yang memegang pundakku, menghentikan langkahku:
“Nulis apa, Mas?”
Ternyata pak satpam sudah berdiri di belakangku.
Tangan kanannya membawa tongkat pemukul hitam mengkilap!
“Mau ngintip, Mas?” tanyanya lebih kasar. “Kalau mau ngintip lagi, nanti sore juga ada, Mas. Giliran saya nanti!”
“Saya tadi mau...”
“Apa, he??” kali ini dia sudah mencengkeram kerah kaosku. “Mau pentungan?!”
“Tunggu dulu.”
“Mas!” teriaknya ke arah ruang kelas. “Kalau sudah selesai kamu keluar dulu, ini ada pengintip yang bisa digarap jadi lemper!!”
“—”
* * *
Nah! Sepertinya cerita ini sudah mencukupi, ada aksi dan juga ketegangan. Aku tinggal memoles logikanya di rumah, biar logis dan memiliki nuansa. Tiba-tiba, aku merasa angin sudah kehilangan gerahnya. Langit juga mulai tampak sejuk dengan warna mulai agak kuning. Sepertinya sebentar lagi ashar akan turun. Akhirnya, bisa juga menulis cerita kecil tentang banjir lumpur. Semoga salah satu editor koran nasional yang selalu suntuk membaca puluhan cerpen yang datang ke mejanya bisa membedakan cerpenku ini dari cerpen-cerpen para penulis tangguh lainnya. Tidak seperti cerpen-cerpenku sebelumnya yang sudah ditolak mentah-mentah.

Melihat langit yang sudah mulai sore itu, aku memutuskan pulang. Aku ingin ngobrol sedikit banyak dengan orang tuaku. Besok aku sudah harus kembali ke kota tempatku kerja. Aku keluar tetap dengan melewati celah antara perpustakaan dan kantor guru. Aku ketemu seseorang yang terlihat baru saja selesai memasang umbul-umbul. Dia menyapaku saat mencoba menstrater sepeda motornya. Aku merasa harus berterima kasih kepada Honda tuanya itu, derunya saat baru datang tadi menghadirkan ide untuk cerpenku.

Aku terus berjalan menuju pos satpam dan si pemasang umbul-umbul mendahuluiku sambil menegur. Di pintu gerbang dia meneriakkan salam perpisahan kepada pak satpam. Saat aku sampai di pos satpam, kusempatkan juga berhenti dulu.

“Bagaimana, Mas?” sapa pak satpam, kali ini dia sungguh ramah. “Sudah selesai menulisnya?”
“Suasananya enak, Pak,” kataku, “tulisan saya bisa selesai.”
“Maaf, lho,” katanya, “tadi saya agak curiga. Biasa, Mas, jaman seperti ini, sulit percaya sama orang.”

Kemudian kami berbicara sebentar sekedar mengabsen guru-guru yang masih ada yang sudah pindah, atau meninggal. Ketika basa-basi itu kurasa sudah cukup, aku pamit dan mulai berjalan. Belum genap selangkah aku berjalan ada suara sepeda motor mendekat. Kulihat sepeda motor itu seperti akan berhenti di pos satpam, penumpangnya dua. Sepeda motor itu belum sampai mendekati pos satpam saat pak satpam berteriak:
“Langsung saja!” kata pak satpam sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dalam kompleks sekolah. Laki-laki pengedara sepeda motor hanya meneriakkan “oke!” sambil meneruskan laju sepeda motornya. Di belakangnya, tampak seorang perempuan memalingkan wajahnya, menghindari melihat aku dan pak satpam. Aku menoleh ke pak satpam. Tampangnya agak berubah, sepertinya Pak Satpam malu-malu dan menyembunyikan sesuatu.
“Siapa itu, Pak?” tanyaku.
“!!!”

Wednesday, December 30, 2009

Lihat Dari Sudut Pandang Yang Berbeda

"Seperti pandangan mata yang terhalang, untuk
mendapatkan pemecahan persoalan, Anda pun perlu
mencoba menggeser sudut pandang pemikiran Anda."

Alkisah, ada seorang petani di sebuah desa mempunyai
hutang yang sangat besar kepada seorang lintah-darat.
Kebetulan, si Lintah Darat naksir berat sama anak
perempuan si Petani. Maka timbulah pikiran liciknya,
"Hei petani, utangmu akan aku anggap lunas kalau aku
boleh menikahi anak perempuanmu!" katanya. Tentu saja
si Petani dan anak perempuannya itu menolaknya.

Si Lintah Darat yang licik itu tak menyerah, "Biarlah
kita buang undi. Saya akan memasukkan dua kerikil ke
dalam kotak ini, satu hitam dan satu putih. Anak
perempuanmu aku persilahkan untuk mengambilnya salah
satu. Kalau yang terambil hitam, maka hutangmu lunas
dan maka aku mendapatkan anak perempuanmu. Kalau yang
terambil putih, kamu tetap berutang padaku dan aku
tidak akan menikahi puterimu. Dan ... jika anak
perempuanmu tidak mau mengambilnya, kamu akan masuk
penjara!" katanya sambil menyeringai licik.

Anak perempuan petani itu tahu betul bahwa ini
pastilah siasat licik Lintah Darat itu. Ia yakin,
kerikil yang akan dimasukkan dalam kotak itu pastilah
hitam semuanya. Dan benar, tanpa sengaja anak
perempuan petani itu melihat si Lintah Darat
memasukkan dua kerikil hitam ke dalam kotak! Anak
perempuan petani itu memutar otak, bagaimana ia
menyiasati akal bulus lintah darat itu. Dilema yang
sangat besar baginya, karena kalau ia menolak
mengambil, ayahnya akan masuk penjara. Kalau ia
mengungkapkan kecurangan si Lintah Darat, ia sangat
takut dan mungkin malah mencelakakan semuanya.
Bukankah para pengikut dan pengawal Lintah Darat itu
bagian dari skenario kelicikannya? Tetapi kalau ia
mengambil, pastilah kerikil hitam yang terambil!

Tapi, puji Tuhan, di saat-saat kritis itu, anak
perempuan petani itu mendapatkan akal. Dengan
disaksikan penduduk sekitar yang berdatangan, ia
dengan mantap mengambil salah satu kerikil dalam kotak
itu, menggenggamnya, dan kemudian tanpa membuka
genggamannya, ia mempersilahkan si Lintah Darat untuk
melihat kerikil yang tersisa dalam kotak. "Apakah
warna kerikil yang tersisa Tuanku?" tanya anak
perempuan petani itu.

Tentu saja sang Lintah Darat terperanjat dengan
kepintaran anak perempuan petani itu, "Hitam ..."
katanya lirih.

"Karena Tuan telah memasukkan satu kerikil hitam dan
satu kerikil putih, berarti yang ada dalam genggamanku
ini adalah kerkil putih!" kata anak perempuan petani
itu sambil tersenyum.

Akhir cerita, hutang si Petani lunas, dan anak
perempuannya tetap bersama-sama dengan dia. Dan perlu
Anda ketahui, sampai Lintah Darat dan semua penduduk
pulang ke rumah masing-masing, anak perempuan petani
itu tetap tidak membuka genggamannya. Ia tidak ingin
mempermalukan Lintah Darat itu dengan menunjukkan
kelicikannya dalam soal kerikil hitam dan kerikil
putih itu ... Ia telah memberikan pelajaran berharga
bagi si Lintah Darat, bagaimana niat jahatnya dibalas
dengan tindakan bijak.

Adakalanya kita menghadapi dilema dan saat-saat sulit
dalam menentukan pilihan seperti yang dialami anak
perempuan petani itu. Apabila pendekatan logika tidak
bisa dilakukan, gunakan pendekatan yang berbeda, atau
coba lihat dan pikirkan dari sudut pandang yang
berbeda. Pasti akan ada jalan.

Selamat pagi dan selamat bekerja.

Refleksi

Tuhan yang Mahabaik memberi kita ikan,
tetapi kita harus mengail untuk mendapatkannya.
Demikian juga Jika kamu terus menunggu waktu yang tepat,
mungkin kamu tidak akan pernah mulai.
Mulailah sekarang...
mulailah di mana kamu berada sekarang dengan apa adanya.
Jangan pernah pikirkan kenapa kita memilih seseorang untuk dicintai,
tapi sadarilah bahwa cintalah yang memilih kita untuk mencintainya.

Perkawinan memang memiliki banyak kesusahan,
tetapi kehidupan lajang tidak memiliki kesenangan.
Buka mata kamu lebar-lebar sebelum menikah,
dan biarkan mata kamu setengah terpejam sesudahnya.
Menikahi wanita atau pria karena kecantikannya atau ketampanannya
sama seperti membeli rumah karena lapisan catnya.
Harta milik yang paling berharga bagi seorang pria di dunia ini adalah ..
hati seorang wanita.

Begitu juga Persahabatan, persahabatan adalah 1 jiwa dalam 2 raga
Persahabatan sejati layaknya kesehatan,
nilainya baru kita sadari setelah kita kehilanganNya.
Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu didalam hatiMu
dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya.
Sahabat adalah tangan Tuhan untuk menjaga Kita.

Rasa hormat tidak selalu membawa kepada persahabatan,
tapi Jangan pernah menyesal untuk bertemu dengan orang lain...
tapi menyesal-lah jika orang itu menyesal bertemu dengan kamu.
Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran.
Dialah hiasan dikala kamu senang dan perisai diwaktu kamu susah.
Namun kamu tidak akan pernah memiliki seorang teman,
jika kamu mengharapkan seseorang tanpa kesalahan.

Karena semua manusia itu baik kalau kamu bisa melihat kebaikannya
dan menyenangkan kalau kamu bila melihat keunikannya
tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan
kalau kamu tidak bisa melihat keduanya.

Begitu juga Kebijakan, Kebijakan itu seperti cairan,
kegunaannya terletak pada penerapan yang benar,
orang pintar bisa gagal karena ia memikirkan terlalu banyak hal,
sedangkan orang bodoh sering kali berhasil dengan melakukan tindakan tepat.
Dan Kebijakan sejati tidak datang dari pikiran kita saja,
tetapi juga berdasarkan pada perasaan dan fakta.
Tak seorang pun sempurna.
Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah.
Apa yang berada di belakang kita dan apa yang berada di depan kita
adalah perkara kecil berbanding dengan apa yang berada di dalam kita.

Kamu tak bisa mengubah masa lalu....
tetapi dapat menghancurkan masa kini dengan mengkhawatirkan masa depan.
Bila Kamu mengisi hati kamu ...
dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,
Kamu tak memiliki hari ini untuk kamu syukuri.
Jika kamu berpikir tentang hari kemarin tanpa rasa penyesalan
dan hari esok tanpa rasa takut,
berarti kamu sudah berada dijalan yang benar menuju sukses.